>ET Paripurno Pejuang Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat

>
Oleh: Bambang Muryanto

Tanggal 16 Juni 2009, jarum jam menunjukan pukul 19.00 namun matahari masih bersinar terang di Jenewa, Swiss. Di hadapan para peserta Second Session of The Global Platform for Disaster Risk Reduction yang hadir di gedung Centre International de Conferences Geneva (CICG), berdiri tegap seorang pria Indonesia mengenakan kemeja batik. Dia adalah Dr. Eko Teguh (ET) Paripurno (47), dosen Fakultas Teknologi Mineral, jurusan Geologi, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta. Senyumnya mengembang ketika UN Under Secretary General for Humanitarian Affair, John Holmes menyerahkan penghargaan United Nations Sasakawa Award for Disaster Reduction plus uang sebesar 50.000 dolar AS.

Ya, ia layak bahagia dan bangga karena menjadi orang pertama di Asia Tenggara yang menerima penghargaan ini sejak Sasakawa Award dimulai tahun 1986. Namun dengan rendah hati ia mengatakan, “Penghargaan ini tidak hanya untuk saya pribadi tetapi juga untuk pemerintah, organisasi non pemerintah, organisasi berbasis masyarakat dan khususnya masyarakat di daerah rawan bencana yang mempunyai komitmen terhadap usaha-usaha ini (pengurangan resiko bencana),” ujarnya saat berpidato usai menerima penghargaan ini.

ET Paripurno mendapat penghargaan ini karena sumbangan dan komitmennya yang luar biasa terhadap proses pengurangan resiko bencana dan pembangunan kapasitas bagi masyarakat di kawasan beresiko bencana di Indonesia. Apa yang ia lakukan itu dianggap sejalan dengan Hyogo Framework, prinsip-prinsip pengurangan resiko bencana yang sudah disepakati masyarakat internasional. Selain dia ada lima orang perwakilan organisasi lain yang mendapat penghargaan, namun ET Paripurno mendapat penghargaan paling tinggi dan satu-satunya yang mendapat hadiah uang.

“Dr Paripurno and the other awardees have made difference in reducing disaster risk by building a strong knowledge base and resilience amongst highly vulnerable communities,” ujar Assistant Secretary-General for Disaster Risk Reduction, Margareta Wahlstrom dalam pers rilis yang dikeluarkan United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR).

Kang ET, demikian ia sering dipanggil, memang orang yang menaruh perhatian besar terhadap pengurangan resiko bencana. Melalui berbagai jaringan yang dipegangnya, ia aktif memberikan pelatihan tentang pengurangan resiko bencana kepada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana di seluruh Indonesia, para politisi, pejabat pemerintah, jurnalis, aktivis NGO dan lain sebagainya. Bapak dari dua anak ini juga menjadikan dirinya sebagai alat penyebar pengalaman pengurangan resiko bencana dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya.

Selama 15 tahun, ia telah terlibat di lebih 750 proyek manajemen pengurangan resiko bencana di 20 propinsi di Indonesia. Secara tidak langsung, ET Paripurno juga telah melibatkan ribuan orang dalam isu pengurangan resiko bencana di negara yang rentan terhadap berbagai hazard bencana alam ini. Memang, penyuka naik gunung ini sudah lama bicara penanggulangan resiko bencana alam ketika belum banyak orang Indonesia melakukannya pasca terjadinya beberapa gempa besar sejak akhir 2004 lalu.

Perhatiannya yang besar terhadap pengurangan resiko bencana menyala setelah ia menyaksikan Gunung Merapi di Yogyakarta, salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia dan di dunia meletus pada 22 Nopember 1994. Letusan ini menyebabkan 64 orang tewas, 1 hilang dan 22 lainnya luka-luka. Mengapa harus ada banyak korban manusia?

“Sebetulnya gunungnya itu tidak menjadi masalah jika ada early warning system, ada informasi,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Centre for Disaster Research, Education and Management (DREaM) di UPN yang didirikannya pada tahun 2001.

Sejak itulah, ET Paripurno dengan menunggang jip Toyota Land Cruiser lansiran tahun 1981 – yang dinamai Badak – mengunjungi masyarakat yang tinggal di desa-desa di lereng Gunung Merapi. Bersama-sama dengan masyarakat, ia menjadi fasilitator dan belajar bersama bagaimana cara mengurangi resiko bencana.

Sebagai ahli geologi, ia tahu persis bagaimana proses terjadinya bencana alam seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir dan tsunami. Ilmu ini menjadi sumber inspirasi belajar bersama komunitas dalam soal pengurangan resiko bencana. Sebagai contoh, ia mengukur kecepatan awan panas yang keluar dari Gunung Merapi dan kecepatan masyarakat melakukan evakuasi.

“Ya, saya mengenal dia,” ujar Badiman, warga Dusun Ngrangkah, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta yang terletak di lereng Selatan Gunung Merapi. Menurut Badiman, ET Paripurno sering memberikan pelatihan bagi masyarakat cara menyelamatkan diri jika gunung ini meningkat aktivitasnya dan mulai membahayakan. “Pelatihan yang diberikannya sangat berguna bagi masyarakat,” tambah Badiman.

Sifatnya yang egaliter menjadikan dirinya mudah bergaul dan menyatu dengan masyarakat desa. “Saya menjalankan kegiatan ini tidak berbasis proyek. Tidak ada proyek, saya tetap menjalankannya,” ujar pria yang selalu mengenakan kaos warna hitam ini. Baginya (proyek) kegiatan di masyarakat dengan dukungan dana besar tidak selamanya bagus. Kegiatan di masyarakat dengan tingkat intervensi tinggi, salah satunya dana besar justru sulit untuk diduplikasi di wilayah lainnya.

ET Paripurno yang pada tahun 2000 terpilih menjadi penerima Ashoka Fellowship mengakui kegiatannya di masyarakat juga wujud dari pelaksanaan Tri Dhrama Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Agaknya komitmen ini pula yang mendorongnya meneliti karakter lahar Gunung Merapi sebagai bahan tesis program doktornya di Universitas Padjajaran, Bandung. Thesis berjudul “Karakter Lahar Gunung Merapi sebagai respon Perbedaan Jenis Erupsi Sejak Holosen” ini berhasil diselesaikannya awal 2009 lalu.

Dalam pertanggungjawaban akademiknya, ia menulis perubahan jenis letusan akan berpengaruh terhadap karakteristik lahar yang keluar dari kawah. Penelitian ini, menurutnya juga berguna bagi mitigasi bencana lahar dan dapat digunakan untuk ‘memotret’ aktivitas gunung api lainnya di Indonesia.

Margareta Wahlstrom berharap penghargaan ini akan semakin mendorong ET Paripurno semakin meningkatkan aktivitasnya di bidang pengurangan resiko bencana. Dan ia memang tidak akan berhenti. Hadiah uang yang diterimanya akan ia simpan menjadi dana abadi. “Jadi siapa pun dapat menggunakannya jika mempunyai kegiatan di bidang pengurangan resiko bencana,” ujar ET Paripurno.

Hari sudah sore, tetapi ia belum beranjak meninggalkan kantor. Ia sedang menunggu dua orang dari Bengkulu yang datang untuk belajar soal pengurangan resiko bencana. Sebuah tanda jika ET Paripurno terus berjuang ….

Tulisan ini dimuat di The Jakarta Post, edisi 2September 2009

Oleh: Bambang Muryanto

This entry was posted in profil. Bookmark the permalink.

1 Response to >ET Paripurno Pejuang Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat

  1. jafaslash says:

    >ET adalah sebuah inspirasi terbesar yg bisa mempengaruhi dan membantu manusia dalam memperpanjang hidup terhadap ancaman bencana..

Leave a comment